Mahasiswa tahun pertama

Minggu ini mewakili boss untuk ikut dalam workshop tentang mahasiswa tahun pertama (first year experience atau FYE) di UTM.  Sekitar enam puluh dosen/pensyarah menghadiri acara sehari penuh yang merupakan perwakilan dari berbagai fakultas dan asrama mahasiswa (kolej kediaman). Topik mahasiswa tahun pertama menjadi isu yang penting terutama hal ini berhubungan dengan pembentukan rasa percaya diri mahasiswa (building confidence) dan upaya awal untuk mencapai prestasi yang bagus yang akan menjadi patokan untuk tahun berikutnya (good grade maintenance). Tentu kampus perguruan tinggi manapun tidak mau mendapati mahasiswanya berprestasi ala kadarnya yang berujung pada kadar drop out yang tinggi, sehingga pengetahuan dan strategi yang tepat bagi mahasiswa tahun pertama sangat diperlukan. Tulisan ini akan mencoba membahas tentang sistem masuk universitas di Malaysia, sedikit profil mahasiswa orang Malaysia yang masuk UTM, prestasi mereka di tahun pertama dan berbagai isu yang mengemuka di dalamnya.

Untuk masuk universitas di Malaysia, sistem yang digunakan berbeda dengan yang ada di Indonesia. Universistas di Malaysia percaya sepenuhnya dengan ujian negara (public examination) yang dilakukan dalam sistem pendidikan menengahnya sendiri, dimana hasil ujian menjadi alat seleksi untuk menentukan diterima atau tidaknya sebagai mahasiswa. Sitem sekolah dimulai pada usia siswa tujuh tahun tepat yang disebut sekolah rendah selama enam tahun; kemudian dilanjutkan dengan lima tahun pendidikan menengah, yang diakhiri dengan ujian SPM (Sijil Pelajaran Malaysia atau O level) dan menandai batas wajib belajar (setara dengan kelas 11 atau kelas 2 SMA di Indonesia). Sistem yang berlaku ini memang warisan dari Inggris. Setelah mendapat SPM, terdapat dua alternatif bila ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, yaitu mengikuti kursus matrikulasi setahun penuh (setiap negara bagian paling tidak mempunyai satu buah kampus matrikulasi dengan sistem asrama) atau belajar untuk ujian negara berikutnya, yaitu STPM (Sijil Tinggi Pelajaran Malaysia yang setara dengan A level), dimana siswa bersekolah di sekolah menengah yang menyelenggarakannya selama dua tahun. Terdapat juga pilihan untuk mengikuti kursus diploma (berbagai keahlian seperti akuntansi, komputer, perkantoran dll.) selama satu sampai tiga tahun, baru kemudian melamar sebagai mahasiswa ke universitas, namun jumlahnya memang tidak sebanyak yang dua cara sebelumnya.

Perlu juga ditambahkan, berhubung suka ada yang menanyakan, bagaimana kalau siswa dari SMA di Indonesia mau belajar S1 di universitas di Malaysia. Maka caranya pun sama, yaitu seleksi administrasi dengan mengirim fotocopy raport dilegalisir sampai semester terakhir (kalau belum lulus sampai semester ganjil kelas terakhir; kalau sudah lulus juga menyertakan ijasah dan nilai UN), isi formulir, pas foto, fotocopy passport dan bayar uang pendaftaran (sekitar US$ 30). Selebihnya adalah berdoa semoga jurusan yang dituju tidak banyak mahasiswa internasional yang berminat :).

Biasanya proses seleksi administratif mahasiswa baru ini mengambil waktu tiga sampai empat bulan (termasuk juga untuk mahasiswa non-Malaysia). Hasilnya bisa diketahui melalui website kementrian pengajian tinggi Malaysia ataupun website universitas. Ini dalam konteks universitas negeri/publik; untuk universitas swasta di Malaysia caranya kurang lebih sama namun waktunya biasanya sedikit belakangan. Seperti halnya di Indonesia, universitas negeri/publik sangat diminati di Malaysia karena mutu yang bagus dan biaya kuliah yang murah (perbandingan uang kuliah antara universitas negeri dan swasta di Malaysia bisa mencapai 1:10)

Ada baiknya diceritakan juga tentang profil mahasiswa baru UTM, yang menjadi info pendukung penting. Survey ini dilakukan tahun akademik 2009/2010 dimana 983 mahasiswa tahun pertama berpartisipasi (30% dari total mahasiswa baru). Data demografis yang didapat menunjukkan 86,7% mahasiswa baru UTM berasal dari keluarga yang masih ada ibu-bapaknya; dari segi dukungan finansial untuk studi, 67,4% mendapatkannya dari pinjaman PTPTN (Perbadanan Tabung Pendidikan Tinggi Nasional, semacam lembaga negara yang memberikan student loan), 11,3% dari orang tua dan 19,9% mahasiswa mendapatkannya dari beasiswa. Berdasarkan domisili 44,8% mahasiswa baru ternyata tempat tinggal di desa, serta 42,9% di daerah sub-urban, dan 11,4% berasal dari kota besar.

Bila melihat kombinasi banyaknya mahasiswa yang berhutang kepada PTPTN dan tempat tinggal, berhubungan dengan penghasilan keluarga: 32,1% pendapatan keluarga mahasiswa baru di bawah RM 1000/bulan (sekitar Rp. 2,8 juta), 41% pendapatan keluarganya antara RM 1000 – RM 2999 per bulan; sedangkan yang penghasilan keluarga tiap bulannya antara RM 3 ribu – RM 4,9 ribu ada 15.1%.  Gambaran ini menunjukkan bahwa mahasiswa baru di UTM memang berasal dari rata-rata keluarga Malaysia (income perkapita saat ini di Malaysia sekitar RM 1875/bulan). Hanya 10,7% mahasiswa baru yang pendapatan keluarganya lebih dari RM 5 ribu/bulan (sekitar Rp 14 juta), bisa jadi memang kelompok ini memilih untuk studi di tempat yang memang lebih mahal ataupun di luar negeri.

Bila ditanyakan alasan memilih UTM, mayoritas setuju bahwa UTM adalah universitas favorit dengan reputasi yang baik, lulusanya mendapat karir yang prestisius dan diterima di universitas top lainnya. Hal ini pula tercermin penempatan pilihan universitas (dimana calon mahasiswa di Malaysia bisa memilih sampai 8 dari 20 universitas negeri yang ada), 78,2% menyatakan UTM termasuk dalam pilihan universitas ke-1 sampai 3; dilihat dari jurusan yang didapatkan pun, 72,4% menjawab bahwa jurusan yang didapatkannya di UTMadalah pilihan ke-1 sampai 3. Kedua hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa baru yang masuk memang bermotivasi dan menginginkan studi di UTM. Bila ditanyakan apa kelebihan mereka dibanding teman sebaya saat sekolah, mayoritas menyatakan kemampuan matematik mereka lah yang berbeda, hal yang umum untuk yang mau studi di jurusan teknik.

Dari berbagai latar belakang di atas, kemudian dalam workshop ditampilkan hasil prestasi mahasiswa tahun pertama di UTM. Satu hal yang mencolok adalah, latar belakang pendidikan yang ditempuh mahasiswa sebelum masuk universitas (pre-university education) secara agregat menjadi indikator tingginya prestasi yang dicapainya. Dijumpai bahwa mahasiswa yang menempuh jenjang STPM berprestasi lebih tinggi dibanding yang melalui jenjang lain seperti matrikulasi atau diploma. Hal ini pun menjadi topik bahasan yang menarik, kenapa bisa begitu? Satu hal yang nampak, adalah persiapan yang dilalui; STPM dilaksanakan dalam rentang dua tahun (setelah SPM) dan siswanya mengikuti rutinitas seperti sekolah biasa (tinggal dengan orang tua dll) yang artinya mereka lebih matang dan secara psikologis lebih siap; sedangkan yang matrikulasi belajar secara padat selama satu tahun, di-asrama-kan dan tentu segala aktivitasnya lebih banyak diatur pihak lain. Dari segi beban belajar, bisa dikatakan matrikulasi lebih siap untuk disuapi, hal ini berhubung pendeknya waktu maka berbagai modul dibuat secara lengkap menjadikan siswa fokus dengan bahan belajar yang ada. Sedangkan dalam STPM, ada beberapa ujian yang sifatnya pengetahuan umum (general exam paper), yang membuat mereka harus mempersiapkan diri dalam berbagai bidang, dan kreatif mengoleksi bahan dan mengujinya secara mandiri (sesuatu yang tidak ada di sistem matrikulasi karena materi dan jenis ujian pun sudah diketahui jauh-jauh hari). Yang juga merisaukan bila di telaah lebih jauh, prestasi menonjol ini banyak dimiliki oleh etnis Cina (jenjang STPM); sedangkan mahasiwa baru yang etnis Melayu memang lebih banyak memilih jalur matrikulasi.

Disamping ditampilkan capaian prestasi berdasar latar belakang pendidikan pre-university, ditampilkan juga prestasi berdasar fakultas. Beberapa fakultas yang favorit di UTM dimana calon mahasiswa yang masuk adalah yang terpintar se Malaysia dengan indeks prestasi diatas 3,5 (dalam skala 0-4) seperti fakultas teknik elektro, teknik mesin, teknik kimia dan teknik sipil; ternyata didapati prestasi mereka di tahun pertama tidak menunjukkan konsistensi yang diinginkan. Hal ini tentu mengherankan, karena di tahun pertama, mata kuliah yang harus diambil bersifat umum, dan kadang hanya 1-2 mata kuliah saja yang berasal dari fakulas/jurusan-nya. Sedangkan ada  fakulti lain yang tidak se-favorit dan tidak menerima mahasiswa secemerlang yang disebutkan sebelumnya malah menunjukkan prestasi yang mengagumkan secara keseluruhan.

Hal ini tentu menunjukkan ada yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada. Disini lah perancangan dan strategi bagaimana membantu mahasiswa tahun pertama secara efektif diperlukan. Sebagai contoh, penanganan mahasiswa tahun pertama di beberapa universitas di luar negeri dilakukan dengan sangat serius, contohnya seperti terlihat di website Wisconsin University Amerika Serikat, Queensland University of Technology Australia, dan Glasgow University Inggris. Di  berbagai universitas tersebut malah pengalaman tahun pertama di universitas menjadi bidang kajian tersendiri. Ini tidak lain menunjukkan kondisi kritis bagi mahasiswa saat memulai studi di perguruan tinggi, khususnya perpindahan ‘alam’ dari sekolah ke universitas. Misalnya di sekolah menengah, kegiatan belajar siswa diatur secara ketat oleh guru yang juga  mempunyai hubungan dekat yang memotivasi siswa; siswa sering diuji dengan bahan pelajaran yang sedikit; pandangan siswa tentang belajar umumnya adalah mengingat sebanyak mungkin dan pengetahuan didapat dari guru; namun semua itu berubah saat mereka mulai studi di perguruan tinggi.

Berhubung UTM tidak bisa melakukan perubahan terhadap sistem pendidikan pra-universitas, maka lingkup yang bisa dilakukan adalah pengkondisian di dalam universitas sendiri. Beberapa strategi yang didiskusikan dalam workshop untuk mendukung mahasiswa tahun pertama ini adalah orientasi, advis yang fokus terhadap kondisi unik mereka, kebersaman komunitas belajar dan asrama (berhubung semua mahasisa tinggal di kolej kediaman), mentor sebaya, suplemen dengan tutor dan pengajaran, dan pengalaman studi tahun pertama. Berbagai strategi itu pada dasarnya sudah dilaksanakan, namun memang tidak menjamin bahwa itu bisa berhasil.

Cerita dari fakultas yang sukses dalam pengelolaan prestasi mahasiswa tahun pertama menarik untuk dikaji. Yang pertama adalah pola seleksi masuk yang diterapkan juga dilengkapi dengan wawancara calon mahasiswa (tidak hanya sekedar seleksi administratif), cara ini ampuh untuk mengetahui kematangan intelektual dan bakat yang dipunyai (ini diterapkan di Fakultas Alam Bina [artistektur & perencanaan wilayah] dan Fakultas Pendidikan). Yang kedua adalah pelaksanakan sistem dukungan di fakultas, prestasi belajar tahun pertama bisa digenjot melalui pemberian kuliah dalam kelas kecil, kelompok belajar dan tutorial, serta pemantapan akan jurusan dan prospek karir mereka nantinya (ini diterapkan di Fakultas Geoinformasi).

Pos ini dipublikasikan di Pendidikan Malaysia, Student, UTM. Tandai permalink.

5 Balasan ke Mahasiswa tahun pertama

  1. Ping balik: Indahnya studi S1 di Perguruan Tinggi Negeri di Malaysia | Blog Catatan Ngejar Setoran

  2. Saya mau tanya, Bagaimana kalalu kita belum lulus SMA atau mengikuti UN. Apakah kita bisa melanjutkan ke perguruan tinggi di malaysia jika kita sudah punya nilai kelas 2 SMA (Form 5).
    Apa nilai raport kelas 2 bisa di setarakan dengan SPM. terima kasih

    • deceng berkata:

      untuk dari Indonesia memang harus sudah lulus SMA; namun bila masih kelas 3, maka harus mendaftar dengan melampirkan raport semester ganjil di semester kelas 3.
      Bila nanti jadi diterima, harus menunjukkan sudah lulus SMA (ijasah)

  3. Ping balik: Indahnya studi S1 di Perguruan Tinggi Negeri di Malaysia | Lembaga Studi Indonesia – Malaysia

Tinggalkan Balasan ke deceng Batalkan balasan